Sebuah cerita dari anak perempuan Caksis yang sekarang mondok di PonPes Assunniyyah - Kencong tentang keberkahan dari seorang ibu, keberkahan dari tirakat atau lelaku yang dilakukan oleh seorang ibu atau ayah untuk anaknya. Cerita ini diperoleh dari seorang guru yang kebetulan mempunyai santri yang kebetulan ada keterlambatan dalam memahami ilmu yang diajarkan oleh gurunya. Yang lain sudah mengerti, tinggal santri yang "istimewa" ini saja yang belum mengerti dan itu berlangsung terus menerus. Entah cerita ini fiktif atau bukan, namun bisa diambil sebuah hikmah tentang keterkaitan doa ibu, kekuatan doa orang tua kita yang dikhususkan untuk anak-anaknya sendiri.
Terlebih disampaikan bahwa menurut ilmu titen para sesepuh leluhur pada jaman dahulu biasanya kesuksesan seorang anak laki-laki terkait dengan seberapa kuat seorang ibu melakukan tirakat doa untuk anaknya dan kesuksesan seorang anak peremuan terkait dengan seberapa kuat seorang ayah melakukan tirakat doa untuk anaknya. Arti kesuksesan disini bukan berarti hanya soal materi dan kekayaan saja, namun bisa berarti itu adalah bersifat non materi, seperti kepandaian, memiliki ilmu yang manfaat, bisa menjadi orang yang terpandang di mata masyarakat, dan lain-lain. Memang pada kelaziman yang kita lihat pada umumnya hubungan batin seorang anak laki-laki lebih dekat dengan ibunya dan kebalikannya hubungan batin seorang anak perempuan lebih dekat dengan ayahnya. Wallahu a'lam bishawab...
Suatu hari, santri ini sowan kepada gurunya. Bertanya banyak hal kepada gurunya sampai pada suatu pertanyaan yang mana itu berkenaan dengan dirinya sendiri.
Santri ini bertanya dengan nada hampir berkeluh kesah, "Kenapa saya kok tidak seperti teman-teman yang lain, saya lihat yang lain sudah pada mengerti semua tentang ilmu yang diajarkan oleh guru, kenapa saya kok belum mengerti juga sampai-sampai harus terus mengulang-ulang pelajaran tersebut ?".
Sang guru terdiam sebentar. Setelah sekian menit, sang guru berkata dengan kelembutannya, "Apakah kamu masih mempunyai ibu?"
"Masih, guru", jawab si santri dengan datar.
"Begini saja, coba kau hubungi ibumu untuk bisa melakukan sesuatu hal untukmu", ucap sang guru.
"Melakukan sesuatu seperti yang bagaimana guru ?", si santri balik bertanya dengan penasaran.
"Coba kau beritahu ibumu untuk bisa berpuasa selama 40 hari dengan niat untuk mentirakati dirimu", jelas sang guru dengan nada berwibawa.
"Iya, guru. Akan saya coba menghubungi ibu. Semoga itu menjadi salah satu wasilah untukku", jawab murid dengan nada agak sedikir ragu-ragu.
40 hari bukan waktu yang sebentar untuk berpuasa. Puasa Senin Kamis saja kita masih sering malas melakukannya, apalagi ini 40 hari melebihi puasa waktu Ramadhan.
Di kemudian hari setelah waktu 40 hari usai dan si santri tetap menjalani hari-hari seperti biasanya, tapi memang dirasa ada perbedaan dibanding sebulan atau dua bulan sebelumnya. Tidak semerta-merta langsung menjadi cerdas seperti Albert Einstein, tapi perlahan dengan pasti santri ini bisa mengejar ketertinggalan pelajaran dengan lebih cepat. Wallahu a'lam bishawab...
Dan akhir cerita, setelah bercerita demikian, jadilah sekarang Caksis yang ditodong untuk bisa melakukan seperti di cerita tersebut. Ya karena anak Caksis perempuan semua, maka menurut ilmu titen diatas harus seorang Ayah yang melakukan tirakat demikian untuk anak perempuannya. Langsung terasa seperti diberi beban berat tanpa latihan berjenjang dulu ini.
Inilah Challenge yang sebenarnya...The real story has begun, To be continued for the next chapter...